Peristiwa LP Cebongan: Hanya TNI atau POLRI yang Bisa Melakukannya

Menarik mencermati peristiwa penyerangan LP Cebongan. Sampai saat ini belum ada titik pasti siapa dan mengapa. Tulisan seorang facebooker dengan ID Idjon Djanbi atau Idjon Jambi sebagaimana kami kutip sebelumnya, hanya menimbulkan desas desus yang semakin tak jelas.

Berikut kami kutipkan berita lain terkait peristiwa LP Cebongan. Sumber asli di Majalah Detik.


Pesan singkat itu beredar di kalangan preman di Yogyakarta sejak Kamis 21 Maret 2013. Isinya, wanti-wanti agar mereka tak keluar malam. Sebab, akan ada segerombolan orang bersenjata yang hendak merangsek ke kota gudeg itu. “Katanya akan ada ‘pasukan loreng’ dari Kartasura,” kata seorang sumber kepada majalah detik.
Menurut desas-desus waktu itu, pasukan loreng tersebut adalah kesatuan elite Angkatan Darat atau yang lebih dikenal dengan nama Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kartasura, kota di sebelah barat Solo, Jawa Tengah (Jateng), adalah wilayah di mana Grup II Kopassus bermarkas. Persisnya di kampung Kandang Menjangan.
Memang Sudah Pasti Tentara? Sudah Benar KOPASSUS? Kita Tak Bisa Menduga-duga
Sumber itu tak mengetahui tujuan “pasukan loreng” itu datang ke Yogya. Namun, diduga mereka akan melakukan aksi terkait tewasnya Serka Santoso, mantan anggota Kopassus, di Hugo’s CafĂ©, Jl. Solo, 19 Maret 2013. Prajurit yang kini bertugas di Detasemen Intel Kodam IV/Diponegoro itu tewas setelah cekcok dengan sekelompok orang asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada Kamis 21 Maret 2013, Sertu Sriyono, juga mantan anggota Kopassus, dianiaya oleh sepuluh orang preman. Personel TNI yang kini berdinas di Kodim 0734 Yogya itu menderita luka cukup parah. Kabar yang beredar, Sriyono dianiaya karena menangkap beberapa pelaku penyerangan terhadap Santoso.
Ketua Forum Silaturahmi Flores NTT, Ibnu Kaldun, mengungkapkan, pihaknya juga menerima “SMS permintaan waspada” itu setelah kejadian di Hugo’s Cafe. Kabarnya, akan ada sweeping terhadap penduduk NTT yang tinggal di Yogya. Hal itu membuat mereka tercekam rasa takut. “Kami takut ‘hilang’” ujar Ibnu kepada majalah detik.
Informasi lain menyebutkan, pasca-tewasnya Santoso, beberapa truk berulang kali melintas di sekitar Markas Polda DI Yogyakarta. Di Mapolda yang terletak di Jl. Lingkar Utara itulah empat tersangka pengeroyokan Santoso ditahan. Mereka adalah Hendrik Benyamin Sahetapi alias Deki (38), Yohanes Juan Manbait alias Juan (37), Gamaliel Yermiyanto Rohi Riwu alias
Adi (33) dan Adrianus Candra Galaga alias Dedi (23). Keempat tahanan itu, bersama tujuh tahanan lainnya, lalu dititipkan ke Lapas Cebongan, Sleman, pada Jumat 22 Maret 2013 siang. Diduga, polisi sudah mengetahui adanya rencana tertentu terhadap mereka. Namun, Kapolda DIY Brigjen Pol Sabar Rahardjo beralasan, keempat tahanan itu dipindahkan karena ruang tahanan Polda akan direnovasi.
Kalapas Cebongan Sukamto Harto mengungkapkan, Polda tak memberitahu ada tahanan kasus pembunuhan anggota TNI dalam pemindahan itu. Ia baru mengetahui belakangan dan langsung merasa waswas. Sukamto trauma penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, oleh anggota TNI terulang di lapas-nya.
Benar saja. Segerombolan orang bersenjata pada Sabtu 23 Maret 2013 pukul 00.30 WIB memaksa masuk ke lapas. Anak buahnya dianiaya dan diancam pistol serta granat. Setelah masuk, mereka mengeksekusi para tersangka pembunuh Santoso. Rentetan tembakan memecah keheningan di Lapas Kelas II-B, Sabtu dini hari itu.
Apakah penyerang Lapas itu anggota TNI seperti dikhawatirkan Sukamto masih gelap. Pagi harinya, sejumlah spekulasi sudah bermunculan. Seorang pejabat di Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi Lapas menyebut serangan itu dilakukan oleh oknum anggota Kopassus. Dugaan itu semakin kuat ketika Kapolda DIY Brigjen Pol Sabar Rahardjo menyatakan serangan itu terkait insiden Santoso.
“Ada kaitannya,” kata dia saat meninjau TKP. Namun, siang harinya, keterlibatan Kopassus itu langsung dibantah oleh Assintel Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Letkol (Inf) Richard. Menurutnya, seluruh anggota Kopassus dan persenjataan yang ada di Kandang Menjangan masih lengkap malam itu. Hal itu ia simpulkan setelah melihat langsung ke markas.
Kasi Intel Grup 2 Kopassus, Kapten (inf) Wahyu Yuniartoto, menambahkan, sebanyak 800 personel Kopassus Kandang Menjangan hanya melakukan “pengamanan pangkalan” malam itu. Tidak ada anggota yang izin untuk pergi ke luar markas. Tak ada pula personel yang bekerja di luar satuan. “Mereka melakukan dinas dalam semua,” kata dia.
Di Jakarta, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Pramono Edhie Wibowo belum mau bicara tentang insiden tersebut. Pramono yang merupakan mantan Danjen Kopassus itu justru meminta agar kasus tersebut ditanyakan ke kepolisian. “Investigasi kan dilakukan polisi,” kata jenderal bintang empat itu.
Polda DIY telah memeriksa saksi-saksi antara lain delapan sipir penjara yang tengah bertugas pada malam kejadian serta 31 tahanan yang berada di sel 5A dengan keempat korban. Dari olah TKP, polisi juga menemukan 32 selongsong peluru dan 16 proyektil berukuran 7,62 mm.
Menurut polisi, pelaku diduga menggunakan senjata laras panjang AK-47, pistol jenis FN dan granat. Namun, mereka mengaku belum mampu mengidentifikasi siapa pelaku penyerangan. Meski menyatakan pembantaian itu terkait pembunuhan Santoso, Sabar tak menyebutkan apakah pelaku berasal dari kesatuan tertentu.
Komnas HAM pun mulai terjun ke lapangan sejak Selasa lalu. Komnas HAM meminta keterangan dari para tahanan dan sipir. Para komisioner semua hendak masuk ke Kandang Menjangan untuk memintaklarifikasi. Namun, hal itu gagal dilakukan, karena Kopassus beralasan belum ada izin dari Mabes TNI.
Hasil penyelidikan sementara Komnas HAM menyimpulkan, operasi malam itu dilakukan secara terencana dan terorganisasi. Durasi penyerbuan mematikan itu hanya berlangsung cepat, 15 menit. Setiap pelaku yang berjumlah 17 orang mempunyai tugas masing-masing. Satu orang berperan sebagai eksekutor. “Satu orang memperhatikan jam (timekeeper),” kata Siti Noor Laila, Ketua Komnas HAM di Lapas Cebongan.
Menurut Siti, dari atribut fisiknya, para pelaku memakai sepatu kets dan celana jeans serta rompi antipeluru. Kepala mereka ditutupi sebo. Para pelaku menenteng senjata dan granat di pinggangnya. Namun, mengenai siapa pasukan misterius itu, “Itu bukan wewenang kami,” lanjut Siti.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) berpendapat, selain terorganisasi, pelaku penyerangan itu juga sangat terlatih. Mereka dibekali kecerdasan untuk menghilangkan jejak, seperti dengan merampas CCTV di ruang kontrol. Ditambah senjata yang dipakai, amat besar kemungkinan mereka adalah aparat negara. Bisa TNI, tapi bisa juga polisi.
“Sangat kecil kemungkinan dilakukan oleh teroris apalagi oleh kelompok preman,” ujar Komisioner Kompolnas M. Nasser kepada majalah detik. Kecurigaan adanya keterlibatan oknum aparat juga disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Alasannya, patut diduga penembakan keempat tahanan itu dilatarbelakangi oleh motif dendam atas tewasnya Santoso. Senjata api yang dipakai pelaku juga tak dimiliki oleh masyarakat sipil.
Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan, beberapa fakta yang ditemukan terkait senjata dan atribut pelaku merupakan petunjuk yang sangat konkret. Polisi sebetulnya bisa dengan mudah melacak pelaku. Namun, tak bisa dimungkiri selalu ada hambatan dalam pengusutan kasus yang melibatkan prajurit TNI atau polisi.
Pertama, mekanisme yang berlaku di masing-masing instansi. Setiap personel TNI/Polri yang melakukan tindak pidana tak bisa diadili di Pengadilan Umum. Kedua, adanya garis komando di kalangan mereka di mana setiap tindakan harus atas izin atasan. “Jangankan pengadilannya, masuk ke gedung TNI saja banyak peraturannya,” kata Haris.
Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Endriartono Sutarto menyayangkan terjadinya insiden Lapas Cebongan. Namun, ia meminta agar jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa TNI-lah pelakunya. Seyogianya semua pihak menunggu hasil penyelidikan yang dilakukan polisi. “Memang sudah pasti tentara? Sudah benar Kopassus? Kita tak bisa menduga-duga,” katanya.
Share on :